Ninuk Mardiana Pambudy
SALAH satu produk budaya yang dianggap merupakan karya lokal yang genius adalah batik. Bila para ahli membicarakan batik, itu berarti Indonesia atau lebih spesifik lagi, Jawa. Para perancang terkenal dari Barat pun tidak segan-segan memungut inspirasinya dari batik. Emilio Pucci, perancang Italia yang mencengangkan dunia pada tahun 1960-an dengan rancangan motifnya yang mencolok, mengambil batik ke dalam salah satu desain kain dan pakaiannya (Pucci, A Renaissance in Fashion, 1991). Perancang dunia yang lebih kini seperti Giorgio Armani, Kenzo dan Paul Smith sudah lama terkesan pada batik dan kain tenun Indonesia. Tokoh kemanusiaan yang juga mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, selalu berkemeja batik buatan Indonesia dalam setiap kesempatan, termasuk acara-acara kenegaraan.
Sebagai teknik menghias, batik bukan hanya ada di Indonesia. Menetapkan dari mana asal mula batik berasal pun mungkin akan sia-sia. Iwan Tirta menyebutkan, batik berkembang secara simultan di berbagai bagian dunia. Akan tetapi, dunia mengakui bahwa batik Jawa adalah yang paling halus karena memiliki corak ragam hias paling kaya, teknik perwarnaan paling berkembang, dan teknis pembuatan paling sempurna dibandingkan batik dari daerah lain.
Batik hanyalah salah satu teknik menghias kain yang berkembang di Indonesia. Indonesia mengenal teknik lain yaitu sebelum benang ditenun seperti pada teknik ikat. Teknik-teknik tersebut sering dikombinasikan sehingga menghasilkan kekayaan teknik membuat ragam hias yang luar biasa. Mereka yang kini menerjuni industri batik dan kain seperti Iwan Tirta, Josephine Komara dari Bin House atau Baron Manansang dari Tenun Baron, sama-sama mengatakan, batik, ikat, jumputan dan teknik menenun seperti songket dan lurik, memberi peluang yang nyaris tak terbatas dalam menghasilkan ragam hias dan di masa depan teknik tersebut selalu bisa memenuhi tuntutan zaman.
Meskipun batik awalnya hanya salah satu teknik membuat ragam hias, tetapi dalam perkembangannya batik menjadi sangat menonjol dibandingkan dengan teknik membuat ragam hias lainnya.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan batik di Jawa lebih berkembang. Iwan Tirta menyebutkan, salah satu alasan penting adalah kain batik menjadi alternatif untuk kain seperti ikat atau tenun lainnya yang memerlukan waktu lebih lama dalam pembuatannya sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan. Hal ini terjadi terutama ketika memenuhi kebutuhan akan kain upacara keagamaan.
Batik sebagai ragam hias lalu mulai mengimitasi ragam hias yang terbentuk melalui teknik menenun. Contoh paling nyata adalah peniruan motif patola, yaitu sejenis kain tenun ikat ganda yang berasal dari Gujarat, India. Kehalusan motif yang dihasilkan ikat patola dengan cepat menarik minat para bangsawan kerajaan Jawa (Tengah). Namun, kelangkaan pasokan, membuat para artisan batik dengan cepat meniru motif patola. Maka lahirlah motif nitik dan jlamprang di Pekalongan.
Bukti lain yang disebutkan Iwan Tirta adalah di daerah di mana tenun berkembang, batik tidak berkembang. Batik kemudian juga mulai mengimitasi ragam hias bordir dari daratan Cina terutama untuk kain-kain altar dan penghias dinding karena batik bisa mengulang motif-motif tersebut dengan lebih cepat.
Alasan lain mengapa batik bertahan dan berkembang adalah karena batik mendapat perlindungan (patronage) dari kalangan istana pada masa lalu, kalangan pemerintahan setelah Republik Indonesia lahir, dan kelompok elite masyarakat ketika peran masyarakat semakin dominan. Batik-batik terbaik dihasilkan para artisan batik untuk raja sebagian karena itu adalah wujud pengabdian si artis kepada Yang Maha Pencipta.
Kepala Negara adalah patron ketika Indonesia telah merdeka. Almarhumah Bintang Sudibjo adalah salah satu artisan batik yang mendapat tempat ketika Presiden Soekarno berkuasa. Iwan Tirta kemudian mendapatkan tempat ketika almar-humah Ny Tien Soeharto mendengar tentang seorang laki-laki bukan berdarah Jawa yang sangat mengerti tentang batik. Sekarang Presiden Adurrahman Wahid juga lebih sering mengenakan kemeja batik dalam berbagai acaranya.
Selain itu, batik tetap mendapat tempat di kalangan elite Indonesia meskipun gaya berpakaian ala Barat menjadi pakaian sehari-hari. Iwan Tirta pada tahun 1980-an memperkenalkan batik dengan prada emas, dan ikut memberi warna pada perkembangan batik. Rumah kain Bin House kembali membangkitkan gairah terhadap batik dan kain batik kembali menjadi mode. Di kalangan perancang yang lebih muda usia, Carmanita mulai serius menekuni batik dan ikut memberi warna sendiri. Berbagai lomba mendesain batik dan menerapkannya pada pakaian sehari-hari yang diadakan berbagai lembaga nonpemerintah ikut menyumbang pada bertahannya batik sampai saat ini.
SEBELUM batik seperti yang sekarang dikenal ada, yaitu teknik menghias dengan menahan warna memakai lilin malam, di Indonesia sudah dikenal "batik" dengan teknik lebih sederhana. Kain simbut di Banten, dan kain ma'a dari Toraja, Sulawesi Selatan, memakai teknik menahan warna juga. Sebagai penahan warna pada kain simbut dipakai nasi pulut yang dilumatkan dan dicampur air gula. Kain lalu dicelupkan ke dalam cairan pewarna yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Kemudian nasi pulut dikerok dan bagian yang ditutupi nasi pulut tetap tinggal putih seperti warna asli kain.
Ma'a pertama kali dikerjakan di daerah pegunungan yang terisolasi sehingga ada dugaan, seperti disebutkan Iwan Tirta, Indonesia memiliki cikal bakal batik dari dalam wilayahnya sendiri. Salah satu contoh kain batik yang kini masih diproduksi dan menjadi contoh evolusi bentuk perantara batik ke bentuknya saat ini adalah kain batik-lurik Tuban di Jawa Timur dan beberapa motif kain batik Jambi. Bentuknya berupa titik-titik yang membentuk motif geometri atau kotak-kotak.
Antropolog Rens Heringa yang sudah meneliti batik Jawa selama lebih 25 tahun dalam Batik from the North Coast of Java (1997) antara lain menyebutkan, motif-motif sederhana pada kain simbut, batik-lurik Tuban atau kain batik Jambi, juga ditemukan pada beragam obyek yang dibuat di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Desain yang sama juga ditemukan pada batik yang digambar memakai tongkat bambu yang disebut laran, yang dibuat etnis minoritas di barat daya Cina, serta etnis minoritas di pegunungan di Thailand, Laos, dan Myanmar.
Penggunaan malam (lilin) membedakan batik yang sekarang dikenal dari bentuk batik yang awal. Malam memberi peluang untuk menghasilkan beragam motif sehingga batik di Jawa berkembang menjadi bentuknya seperti saat ini.
Teknik membuat ragam hias kain dengan teknik menahan warna diperkirakan sudah ada di Kepulauan Nusantara sejak masa prasejarah, meskipun tidak ada contoh kain yang tertinggal saat ini kecuali kain dari abad ke-19. Salah satunya adalah kain simbut yang terdapat di Museum Nasional.
Tidak banyak catatan tentang perkembangan dari teknik batik (menahan warna) awal hingga menjadi teknik batik Jawa yang kaya detail dan ragam hias yang kompleks. Salah satu penyebabnya karena di Jawa membatik adalah pekerjaan perempuan, dan karenanya tidak pantas dituliskan karena penulisan adalah domain kaum laki-laki.
Heringa menyebutkan, meskipun bukti tertulis ataupun bukti fisik tentang perkembangan batik pada masa awal belum ditemukan saat ini, tetapi mitos paling awal tentang batik sudah ada pada kira-kira tahun 700 M. Mitos itu menyebutkan tentang pangeran dari pantai timur Jenggala di dekat Surabaya bernama Lembu Amiluhur. Pengantin Lembu Amiluhur, seorang putri bangsawan dari Coromandel, India, dan para dayangnya yang beragama Hindu, mengajarkan menenun, membatik, dan mewarnai kain kepada orang-orang Jawa. Mitos ini bertahan hingga putra Lembu, Raden Panji Ima Kerta Pati, menjadi raja.
Catatan tertulis tentang batik baru muncul ratusan tahun kemudian, pada tahun 1518 yaitu dari wilayah Galuh di barat laut Jawa, pada masa pra-Islam.
Baik mitos maupun catatan tertulis pertama tentang batik, dua-duanya berlokasi di Pesisir atau daerah pantai utara Jawa dan sebelum masuknya Islam. Kawasan ini mendapatkan pengaruh luar biasa dari India, Cina, dan Persia melalui perdagangan. Teknik menahan warna memakai lilin (malam) yang diimpor dari Coromandel dan mungkin Persia, memiliki lebih banyak kesamaan secara visual dengan kain tradisional Pesisir, terutama dalam ukuran dan format.
Namun, artisan di Jawa kemudian mengembangkan sendiri kain yang cocok dengan kebutuhan mereka sehingga kemudian teknik yang dipakai di Coromandel yang hanya ragam hias hanya dibuat pada satu sisi sangat berbeda dengan batik Jawa dalam detail, sehingga tidak bisa dibilang batik Jawa berasal dari India. Hal yang sama juga berlaku pada kain kalamkari dari Persia yang menggunakan proses cetak-blok untuk mendapatkan ragam hias.
Cina juga memberikan sumbangan pada batik Jawa setidaknya sejak masa Sultan Agung yang menjadi Raja Islam pertama di Mataram (1613-1645). Sultan Agung disebutkan menggunakan batik dengan motif burung huk yang dalam mitologi Cina membawa berkah keberuntungan. Kisah ini membuka kemungkinan tentang peran pendatang Cina pada abad ke-19 di pesisir dalam penyebaran Islam. Kemungkinan lain, imigran dari selatan Cina ikut menyumbang terhadap perkembangan batik. Perempuan dari suku minoritas di selatan dan tenggara Cina menghiasi kain katun mereka dengan teknik menahan warna memakai lilin yang dipakai di Jawa dari masa Kekaisaran Ming hingga kini.
PENJAJAH Belanda mulai menaruh perhatian pada batik pada abad ke-19. Para ahli pada masa itu membuat penilaian yang terdistorsi tentang batik dengan menyebutkan bahwa batik semula berpusat dari Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta baru menyebar kepada perempuan perajin di desa-desa yang membuat batik untuk kepentingan komersial.
Rens Heringa menolak pandangan itu dengan mengatakan kemungkinan teknik batik baru masuk ke daerah pedalaman Jawa setelah pertengahan abad ke-17 ketika Kesultanan Mataram berkembang dan mengadopsi kebudayaan Pesisir. Ketika Kertasura menjadi ibu kota kerajaan, warna dan motif mengalami perubahan secara bertahap menjadi lebih lembut gaya keraton Jawa Tengah. Batik-batik yang berasal dari Keraton Yogyakarta dan terutama Surakarta serta motif yang diturunkan dari keduanya, lalu dianggap sebagai puncak karya batik dan batik dari daerah lain lalu dianggap tidak seindah batik dua daerah itu, untuk waktu yang sangat panjang.
Sejauh itu, semua batik dibuat dengan menggunakan canting dengan berbagai ukuran kehalusan maupun bentuk. Pewarnaan menggunakan bahan pewarna alami, dan batik lebih merupakan pekerjaan musiman untuk keperluan keluarga.
Batik mulai berkembang sebagai komoditi komersial ketika pada akhir abad ke-18 kain dari India ekspornya rontok karena mendapat saingan dari kain print Eropa. Batik tulis dari Pesisir mulai menggantikan kain dari India dan pedagang Cina Peranakan sangat berperan dalam produksi dan perdagangan batik.
Para pedagang Peranakan yang menguasai perdagangan kain katun putih dan bahan lain pembuat batik, memiliki jaringan hingga ke desa terpencil dan mereka juga meminjamkan uang. Mereka sering memberi uang muka untuk mendorong produksi batik oleh para perempuan di pedesaan. Pada pertengahan abad ke-19 perempuan Indo-Eropa dan Indo-Arab ikut masuk sebagai wiraswasta batik. Pada masa inilah perempuan di desa-desa Jawa mulai bekerja di luar desa mereka untuk mendapatkan upah sebagai pembatik, terutama ketika panen keluarga tidak berhasil.
Pekalongan pada tahun 1850 menurut kolektor batik Harmen C Veldhuisen (Batik Belanda, Dutch Influence in Batik from Java History dan Stories, 1993), telah berkembang sebagai pusat batik yang penting. Dalam industri batik lalu terjadi pembagian kerja: laki-laki bertugas menyiapkan kain katun putih dan mewarnai, sementara perempuan membatik dengan motif yang ditentukan pembeli atau mengkopi motif batik yang sudah jadi memakai malam.
Sejak awal mulainya produksi batik secara komersial, kebutuhan batik tulis tidak pernah bisa dipenuhi. Karenanya, pada awal abad ke-19 terbentuk pasar untuk kain yang mengimitasi motif batik dengan teknik print yang diimpor dari Eropa.
Kenyataan ini lalu mendorong para pedagang batik mengembangkan teknik untuk mempercepat proses produksi. Mereka lalu melakukan beragam percobaan, antara lain menggunakan ubi jalar sebagai cap. Akhirnya ditemukan cap yang terbuat dari blok kawat tembaga yang membentuk satu blok motif. Akan tetapi, karena pembuatan cap ternyata membutuhkan banyak tenaga kerja, produksi kain harus cukup besar untuk membuatnya ekonomis. Veldhuisen menyebut satu cap bisa membuat sekitar 200 sarung. Karena membuat batik cap merupakan pekerjaan untuk laki-laki, maka perempuan terpaksa hanya bisa bekerja untuk membuat batik tulis.
Perang Dunia I membawa kehancuran pada industri batik. Impor katun putih dari Belanda terganggu, harga batik naik, dan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, para pembatik memroduksi sebanyak-banyaknya. Hasilnya pasar banjir dan harga turun, sementara persediaan kain terbatas. Setelah Perang Dunia I, Hindia Belanda kembali mengimpor kain pada tahun 1918 tetapi industri batik cap hanya membaik sesaat karena kemudian terpengaruh oleh depresi. Hanya mereka yang melayani sekelompok elite peranakan yang menyukai batik tulis saja yang bisa bertahan. Ini menyebabkan banyak pembatik kehilangan pekerjaan, dan kemudian pembatik didatangkan dari daerah-daerah lain memakai kereta api ketika upah pembatik lokal menjadi terlalu mahal.
BATIK adalah pakaian utama untuk menggambarkan posisi sosial seseorang, terutama pada masa kekuasaan kerajaan dan penjajahan Belanda. Motif parang rusak, misalnya, hanya boleh dikenakan oleh raja di Yogyakarta dan Surakarta. Motif ini menurut mitos telah menyelamatkan Raden Panji dari bahaya dan Sultan Agung juga memakai motif ini.
Batik dianggap memiliki makna yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Orang Jawa yang meninggal misalnya, alas tempatnya berbaring sebelum berangkat ke liang lahat dilapisi tujuh kain batik, batik juga dipakai untuk menutup jasad. Pengantin menggunakan kain sidamukti sebagai lambang berkah.
Iwan Tirta yang menyebut dirinya sebagai penjaga nilai-nilai tradisi batik, melihat batik di masa depan akan bertahan sebagai pelengkap busana modern (Barat) perempuan Indonesia dalam bentuk kain selendang (shawl) atau skarf, sebagai kemeja batik, atau sebagai elemen dekorasi ruangan. Batik dalam bentuk kain panjang yang dikenakan bersama kebaya hanya akan dipakai pada saat tertentu saja.
Semakin melunturnya unsur-unsur sakral-tradisi dalam kehidupan sehari-hari manusia Indonesia, membawa pengaruh pada makin sirnanya makna batik. Yang akan berkembang kemudian adalah batik sebagai benar-benar ragam hias.
Batik sebagai teknik menahan warna memakai malam pun kemungkinan akan semakin langka, apalagi batik tulis. Pengerjaannya yang memakan waktu, terutama bila ingin mendapatkan batik dengan banyak warna, membuat batik menjadi semakin mahal. Batik tulis dengan keindahan seperti pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kemungkinan hanya menjadi benda koleksi.
Di sisi lain, tumbuhnya industri tekstil di Indonesia juga mengancam keberadaan batik dalam arti mereka mereproduksi motif batik tanpa menggunakan teknik batik tetapi memakai teknik print. Orang awam bisa jadi akan terkecoh oleh "batik" seperti ini batik bisa menjadi kain "murahan".
Salah satu yang membuat batik Jawa berbeda dari batik daerah lain adalah isen-isen yang menjadi latar belakang motif utama yang secara garis besar terbagi atas motif geometris dan motif nongeometris. Ketika batik sedang berjaya, isen-isen yang bisa berupa titik, sulur-suluran dan atau garis, mengisi seluruh latar belakang kain, sesuatu yang sekarang sangat jarang dilakukan lagi karena membutuhkan waktu panjang dalam pengerjaannya. Batik, sebagai teknik membuat ragam hias, akhirnya mungkin akan menjadi milik sedikit orang saja.
Ninuk Mardiana Pambudy wartawan Kompas.
Sumber :www.hetirageofjava.com
Sejarah Panjang Batik
Diposting oleh A!_VOD@
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar